Oleh: Dwi Hartoyo
Tragedi pembunuhan wanita hamil di Palembang seharusnya tidak hanya dibaca sebagai berita kriminal. Ia adalah cermin retak dari kondisi moral bangsa. Ketika seorang manusia tega menghabisi nyawa ibu dan janin hanya karena tersinggung, kita wajib bertanya: apa yang salah dengan nurani generasi kita?
Di balik kemajuan teknologi, media sosial, dan keterbukaan informasi, ada arus deras yang perlahan menggerus nilai-nilai kemanusiaan. Dunia maya kini sering menjadi ruang tanpa etika—tempat hubungan dibangun instan, perasaan dijajakan murahan, dan emosi dipuaskan tanpa batas tanggung jawab.
Pelaku dan korban dalam kasus ini dipertemukan oleh media sosial. Ironisnya, platform yang diciptakan untuk menghubungkan manusia malah sering menjadi jembatan menuju kehancuran moral. Ketika nilai-nilai agama, adat, dan keluarga mulai diabaikan, maka batas antara benar dan salah semakin kabur.
Pendidikan karakter yang seharusnya menjadi benteng terakhir, seringkali hanya jadi formalitas di ruang kelas. Kita lupa bahwa membangun bangsa tak cukup dengan kecerdasan intelektual; kita butuh kecerdasan moral. Tanpa itu, manusia modern hanya akan menjadi makhluk canggih tanpa hati — pintar menggunakan gawai, tapi miskin empati.
Negara pun punya tanggung jawab besar. Aparat penegak hukum sudah menjalankan perannya dengan tegas, namun akar masalahnya jauh lebih dalam. Pemerintah perlu berani mengembalikan pendidikan moral dan sosial ke pusat kebijakan publik: di sekolah, di lingkungan kerja, dan di rumah-rumah rakyat.
Kita sedang menghadapi zaman di mana kejahatan tumbuh lebih cepat daripada kesadaran. Bila dibiarkan, bangsa ini akan kehilangan arah, sebab pembunuhan bukan lagi sekadar tindakan jahat, tapi simbol kematian nilai kemanusiaan itu sendiri.
Sudah saatnya kita berhenti sekadar mengutuk. Bangsa ini perlu kembali ke dasar — ke ajaran budi pekerti, gotong royong, dan rasa malu berbuat salah.
Karena ketika rasa malu hilang, maka yang tersisa hanyalah manusia tanpa nurani.
Editor : Dwi Hartoyo