Batam – Aktivitas cut and fill di kawasan Bukit Muka Kuning, tepatnya di bawah tower Batamindo, makin terang-terangan. Dump truk roda 10 keluar masuk lokasi galian tanpa penutup muatan, sehingga tanah berceceran di sepanjang jalan aspal dari lokasi hingga putaran ATB. Debu beterbangan, mengganggu pengguna jalan lain dan membahayakan keselamatan lalu lintas.
Di lokasi, tampak Ucok bersama dua rekannya yang bertugas menjaga arus keluar masuk truk. Kepada wartawan, ia mengaku kegiatan ini sudah berjalan sekitar dua bulan, dengan jam operasi dari pukul 18.00 WIB hingga tengah malam.
“Tanahnya dibawa ke Batam Center, Ocarina Golden Beach. Masalah izin kami tidak tahu bang, kami hanya kerja. Kalau mau jelasnya ke kantor di Bengkong, tapi saya tidak tahu Bengkong mana. Atau langsung ke atas bang, ada pengawasnya, katanya dari unsur aparat,” ujar Ucok.
Pernyataan ini menimbulkan tanda tanya besar. Jika benar ada keterlibatan oknum aparat, maka patut dipertanyakan mengapa kegiatan besar-besaran seperti ini bisa berlangsung tanpa ada tindakan tegas dari instansi terkait.
Yang lebih memprihatinkan, aktivitas ini sudah berjalan nyaris setiap malam selama dua bulan, namun instansi seperti Dinas Lingkungan Hidup, Satpol PP, dan aparat penegak hukum seolah menutup mata. Tidak ada tindakan, padahal aturan jelas melarang pembuangan material tanpa penutup serta kegiatan cut and fill yang berpotensi merusak tata lingkungan.
Selain itu, kejanggalan juga terlihat dari tata kelola pekerjaan. Jika benar kegiatan ini dilengkapi izin resmi, mengapa operasinya dilakukan malam hari? Mengapa pula tidak ada papan plang proyek di lokasi, sebagaimana lazimnya pekerjaan yang legal? Pertanyaan-pertanyaan ini semakin memperkuat dugaan adanya praktik ilegal yang sengaja ditutup-tutupi.
Seorang pemerhati lingkungan sekaligus tokoh masyarakat Batam menilai, lokasi cut and fill di kawasan Bukit Muka Kuning dulunya dikenal sebagai hutan lindung, meski kini status hukumnya belum jelas bagi publik. “Apapun statusnya, setiap kegiatan yang merusak ekosistem dan tidak transparan wajib dihentikan. UU Lingkungan Hidup dan UU Kehutanan sudah jelas mengatur sanksi pidana bagi pelaku perusakan kawasan,” tegasnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 50 ayat (3) menegaskan larangan melakukan kegiatan yang mengakibatkan perubahan fungsi kawasan hutan. Sementara Pasal 78 menyebutkan, pelanggar dapat dipidana penjara hingga 10 tahun dan denda Rp 5 miliar.
Jika pemerintah daerah tidak tegas, publik menilai wajar bila muncul dugaan adanya kongkalikong antara pengusaha dan oknum aparat. Karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama aparat pusat didesak turun tangan untuk mengusut tuntas aktivitas cut and fill di Bukit Muka Kuning yang penuh kejanggalan ini.
Editor : Dwi Hartoyo