Batam — Intinews.com
Aktivitas cut & fill di kawasan Teluk Bakau, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, memicu tanda tanya besar soal legalitasnya. Dari pantauan lapangan pada Jumat (29/8/2025) sore, tampak alat berat ekskavator bekerja di area bukit tanah merah yang sudah terkupas habis.
Deretan pipa beton disusun di lokasi, sementara jalan tanah dilalui hilir mudik dump truk roda 10 bermuatan tanah. Dua pekerja lapangan, Yosef dan Paskalimus, menyebutkan bahwa material hasil cut & fill tersebut diangkut menuju sekitar SPBU Kabil dan kawasan Ocarina Batam Center.
Yosef juga menuturkan, di lokasi ada seorang pengawas bernama Nurdin yang sesekali datang memantau kegiatan. Namun, kata Yosef, kehadiran Nurdin hanya sebentar karena ia mengaku harus mengawasi tiga titik kegiatan serupa di Batam. Ketika ditanya mengenai perusahaan apa yang mengelola proyek dan nomor kontak penanggung jawab, Yosef justru menghindar dengan alasan tidak tahu. “Beliau datang sebentar saja, habis itu pergi lagi. Kalau soal perusahaan dan nomornya,saya tidak tahu,” ungkap Yosef.
Ironisnya, hingga kini tidak ada papan plang proyek ataupun identitas perusahaan di lokasi, padahal sesuai aturan, setiap pekerjaan konstruksi maupun cut & fill wajib mencantumkan informasi resmi terkait pelaksana kegiatan.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan publik: apakah aktivitas cut & fill tersebut sudah mengantongi izin, atau justru masuk kategori ilegal? Jika dibiarkan, dampaknya tidak main-main. Selain lingkungan darat terancam rusak, galian tanah berpotensi memicu longsor dan banjir di musim hujan, serta memperparah sedimentasi laut yang dapat merusak ekosistem pesisir Batam.
Secara hukum, aktivitas cut & fill tanpa izin dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 109 menyebutkan, setiap orang yang melakukan usaha atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan dipidana dengan penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun serta denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp3 miliar.
Selain itu, jika aktivitas ini dikategorikan sebagai galian tanah (mineral bukan logam dan batuan), pelakunya bisa terjerat UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020. Pasal 158 menegaskan, setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin resmi dapat dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.
Aparat kepolisian pun didesak turun tangan. Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Kepri diminta segera menindaklanjuti dugaan aktivitas cut & fill ilegal ini. Sebab, selain merusak lingkungan dan mengganggu masyarakat, kegiatan tanpa izin juga berpotensi menimbulkan kerugian negara dari sisi pajak dan retribusi.
“Kalau benar tanpa izin, Ditkrimsus jangan ragu untuk melakukan penyelidikan. Aparat harus hadir agar jangan sampai praktik seperti ini menjadi kebiasaan di Batam,” tegas seorang warga.
Sejumlah pihak juga menyoroti lemahnya pengawasan instansi terkait. Publik berharap Satpol PP, Dinas Lingkungan Hidup, maupun Dinas Perizinan tidak menutup mata, serta berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk menghentikan kegiatan sebelum menimbulkan dampak lebih besar.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari instansi terkait mengenai legalitas aktivitas cut & fill di Teluk Bakau tersebut. Publik kini menunggu langkah tegas pemerintah dan aparat penegak hukum untuk membuktikan bahwa aturan benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu. Jika aparat hanya diam, bukan tidak mungkin publik menilai ada permainan di balik aktivitas galian yang jelas-jelas merusak ini.