Batam, Intinews.com. Kepulauan Riau — Aktivitas cut & fill di kawasan bukit Jembatan Tiga Barelang, tepatnya Pulau Setokok, Kecamatan Bulang, kembali menuai tanda tanya besar. Sejak beberapa hari terakhir, suara bising alat berat bercampur debu tebal tampak menguasai kawasan perbukitan. Truk-truk roda 10 hilir mudik, mengangkut tanah merah hasil pengerukan menuju arah pusat kota Batam.
Informasi yang beredar kuat di lapangan menyebutkan, tanah timbun tersebut diarahkan ke proyek Marina Opus Bay, salah satu kawasan reklamasi dan properti elit di Batam. Bila benar demikian, maka bukit-bukit di hinterland Barelang kembali menjadi “korban” untuk memenuhi hasrat pembangunan Mega proyek.
Pantauan langsung di lokasi memperlihatkan seorang pekerja lapangan bernama Wahyu, bersama dua orang temannya, mengatur keluar masuknya truk dan alat berat. Mereka mengaku bahwa pekerjaan ini merupakan bagian dari proyek PT. SMS.
Lebih jauh, salah satu pihak internal menyebutkan bahwa seluruh izin sudah lengkap atas nama PT. SMS. Namun, hingga kini dokumen izin tersebut tidak pernah dipublikasikan terbuka untuk publik. Hal inilah yang memicu keraguan masyarakat, apakah benar seluruh proses cut & fill ini sah sesuai aturan, atau hanya sebatas klaim sepihak.
Menariknya, sumber di lapangan juga mengungkapkan bahwa Suradi, perwakilan dari PT. SMS, menunjuk Ruslan, seorang tokoh sesepuh warga Jembatan Dua, untuk menjadi garda terdepan menghadapi jika ada protes dari warga, LSM, maupun wartawan.
Strategi ini menandakan bahwa pengelola proyek sudah memperhitungkan potensi gejolak. Dengan menunjuk figur lokal, proyek diharapkan aman dari konflik sosial. Namun di sisi lain, publik menilai cara ini justru semakin mempertegas adanya “backing sosial” demi kelancaran aktivitas pengerukan yang sarat kepentingan.
Batam bukan kali ini saja diwarnai persoalan tanah timbun. Aktivitas pengerukan bukit untuk dijual ke proyek reklamasi kerap disebut bagian dari jaringan mafia tanah timbun. Modusnya hampir sama: proyek mengklaim semua izin lengkap, ada backing sosial, lalu tanah bukit hilir mudik diangkut ke kawasan reklamasi.
Jika benar tanah bukit Barelang dialirkan ke Marina Opus Bay, publik wajib bertanya:
Apakah izin cut & fill tersebut diterbitkan BP Batam secara resmi?
Apakah kajian lingkungan hidup (AMDAL) benar-benar ada dan disahkan?
Ataukah ini sekadar modus untuk meraup keuntungan besar dengan merusak lingkungan?
Bukan hanya soal legalitas, aktivitas cut & fill memiliki dampak serius:
1. Erosi & Longsor – Bukit yang dikeruk akan kehilangan daya dukung tanah dan rawan longsor.
2. Sedimentasi Laut – Material tanah akan terbawa hujan ke perairan, merusak ekosistem laut dan pesisir.
3. Kehidupan Warga – Debu tebal, jalan rusak akibat truk bertonase berat, dan berkurangnya resapan air menjadi masalah nyata di sekitar lokasi.
Ironisnya, warga sekitar mengaku tidak pernah dilibatkan dalam sosialisasi resmi maupun kajian dampak lingkungan.
Di Mana Peran BP Batam dan Aparat?
Pertanyaan paling tajam kini mengarah pada otoritas: di mana BP Batam, Dinas Lingkungan Hidup, dan aparat penegak hukum?
Apakah mereka benar-benar tidak mengetahui aktivitas pengerukan masif yang jelas-jelas terjadi di depan mata? Atau justru ada pembiaran yang disengaja?
Jika proyek ini memang berizin resmi, maka sudah selayaknya dokumen izin dipublikasikan agar tidak menimbulkan dugaan liar. Namun bila tidak, maka jelas ada praktik pelanggaran hukum yang mestinya segera ditindak oleh aparat.
Aktivitas cut & fill bukit di Jembatan Tiga Barelang yang dikelola PT. SMS kini bukan lagi sekadar isu teknis pembangunan, melainkan sudah menjadi persoalan hukum, lingkungan, dan sosial. Dengan dugaan tanah dialirkan ke Marina Opus Bay, publik berhak mendapatkan jawaban terang:
Apakah proyek ini benar-benar legal?
Siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dirugikan?
Satu hal yang pasti, bukit-bukit di Barelang kian hari kian tergerus, sementara aparat dan BP Batam seolah memilih diam.
Penulis : Sajarudin
Editor : Dwi Hartoyo