Batam – Keberadaan bangunan semi permanen di kawasan sempadan sungai SP Plaza, Kelurahan Tembesi, Kecamatan Sagulung Kota Batam, memicu tanda tanya besar. Meski dikabarkan telah mengantongi izin dari pihak terkait, pakar tata ruang menilai izin tersebut bermasalah dan cacat hukum. Pasalnya, lahan yang ditempati sejatinya merupakan tanah penghijauan sekaligus kawasan lindung sempadan sungai yang dilarang untuk didirikan bangunan.

Hasil penelusuran di lapangan, Sabtu (23/08/2025 ), bangunan yang awalnya hanya berupa tempat santai sederhana kini bertransformasi menjadi rumah ibadah semi permanen. Warga sekitar menyebutkan perubahan fungsi lahan tersebut berlangsung dalam beberapa bulan terakhir.
Menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap pemanfaatan ruang wajib sesuai dengan rencana tata ruang. Pasal 69 menegaskan, pejabat yang memberikan izin menyimpang dari tata ruang dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda hingga Rp500 juta.
Sementara PP No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai dan UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air menegaskan sempadan sungai merupakan kawasan lindung yang harus bebas dari bangunan, kecuali untuk infrastruktur pengairan.
Seorang pemerhati lingkungan di Batam menilai keberadaan bangunan tersebut jelas menyalahi aturan.
“Kalau sempadan sungai dibangun, fungsi ekologisnya hilang. Daya serap air berkurang, risiko banjir meningkat. Apalagi ini kawasan padat penduduk, mestinya pemerintah tegas menertibkan,” ujarnya.
Sementara itu, sejumlah warga mempertanyakan dasar hukum dari penerbitan izin.
“Kalau memang ada izin, itu patut dipertanyakan. Bagaimana mungkin lahan penghijauan dan sempadan sungai bisa berubah jadi bangunan? Kalau izinnya keluar, jelas cacat hukum,” ungkap salah seorang warga.
Reaksi keras juga datang dari warga yang tinggal tepat di sekitar aliran sungai. Mereka khawatir keberadaan bangunan tersebut justru merugikan masyarakat kecil.
“Kami ini tinggal di sekitar aliran sungai. Kalau hujan deras, air gampang meluap. Sekarang bantaran sungai malah dipersempit dengan bangunan. Pemerintah harus pikirkan nasib kami, jangan hanya diam melihat pelanggaran,” keluh seorang ibu rumah tangga.
Ada pula warga lain yang menilai pembangunan di sempadan sungai merupakan bentuk pengabaian terhadap hak publik.
“Sempadan sungai dan tanah penghijauan itu ruang terbuka untuk umum, untuk resapan air dan kenyamanan warga. Kalau dipakai jadi bangunan, artinya ruang publik dirampas. Kami kecewa pada pemerintah kalau ini dibiarkan,” ujarnya dengan nada kesal.
Pakar hukum tata ruang menegaskan, meski ada surat izin, hal tersebut tidak serta-merta membuat bangunan sah secara hukum.
“Izin yang bertentangan dengan undang-undang lebih tinggi otomatis batal demi hukum. Bahkan pejabat yang menandatangani izin bermasalah bisa dikenakan sanksi pidana. Jadi bukan hanya bangunannya yang melanggar, tapi juga otoritas pemberi izin bisa diperiksa aparat penegak hukum,” jelasnya.
Dikonfirmasi terpisah, seorang pejabat di Ditkrimsus Polda Kepri menyampaikan pihaknya siap menindaklanjuti apabila ada laporan resmi masyarakat terkait dugaan pelanggaran tata ruang maupun penyalahgunaan kewenangan dalam penerbitan izin.
“Kami meminta instansi terkait untuk lebih transparan. Jika terbukti ada izin yang bertentangan dengan aturan, itu bisa masuk ranah hukum. Ditkrimsus tentu akan memproses sesuai mekanisme yang berlaku apabila ada laporan,” tegasnya.
Sementara itu, Satpol PP Kota Batam menegaskan siap menertibkan apabila ditemukan pelanggaran aturan tata ruang di kawasan sempadan sungai.
“Kami berpegang pada aturan. Bangunan yang berdiri di atas sempadan sungai atau lahan penghijauan bisa dikategorikan pelanggaran. Jika hasil koordinasi lintas instansi menyatakan demikian, Satpol PP akan turun melakukan penertiban sesuai prosedur,” ujar salah seorang pejabat Satpol PP.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak terkait di Kota Batam belum memberikan keterangan resmi kepada media ini.
Editor : Dwi Hartoyo






