Oleh: Dwi Hartoyo
Rabu, 22 Oktober 2025
Setiap 22 Oktober, bangsa ini kembali menundukkan kepala, mengenang peran besar kaum santri dalam menjaga keutuhan negeri. Namun, di balik gegap gempita peringatan Hari Santri Nasional, terselip sebuah pertanyaan penting: masihkah semangat dan nilai kesantrian itu benar-benar hidup di tengah hiruk pikuk zaman digital?
Hari Santri sejatinya bukan sekadar upacara dan simbol. Ia adalah napas perjuangan panjang kaum sarungan yang tak hanya pandai berzikir, tapi juga berfikir. Dari pesantrenlah lahir manusia-manusia tangguh yang memadukan ilmu dan iman, akal dan adab, doa dan kerja.
Kini, di tengah dunia yang makin bising oleh gawai dan media sosial, semangat itu diuji — bahkan dipertaruhkan.
Kita hidup di masa di mana arus informasi mengalir tanpa batas, namun kebijaksanaan justru kian langka. Moral terkikis, empati menipis, dan kebenaran sering kali dikalahkan oleh popularitas. Di sinilah peran santri menjadi sangat relevan. Mereka bukan hanya pelajar agama, melainkan penjaga nurani bangsa yang harus tetap tegak berdiri saat nilai-nilai luhur mulai goyah.
Santri masa kini harus mampu menjadi jembatan antara tradisi dan kemajuan.
Mereka harus menguasai teknologi tanpa kehilangan kendali moral; mampu berselancar di dunia digital tanpa hanyut dalam arus keburukan.
Santri bukan musuh kemodernan — justru mereka adalah penuntun agar kemajuan tak kehilangan arah.
Khusus di daerah-daerah seperti Kecamatan Trimurjo, denyut kehidupan pesantren masih terasa kuat. Dari musala kecil hingga pondok pesantren, dari majelis ilmu hingga kegiatan sosial, semangat religius dan gotong royong tumbuh subur. Trimurjo mencerminkan wajah Indonesia yang sesungguhnya: sederhana tapi berjiwa besar, religius tapi terbuka terhadap perubahan.
Dari wilayah seperti inilah, harapan akan lahirnya generasi santri yang cerdas, beretika, dan berjiwa nasionalis terus menyala.
Tugas santri hari ini bukan lagi mengangkat senjata, melainkan mengangkat martabat bangsa.
Bukan lagi melawan penjajah berseragam, tapi melawan kebodohan, kemalasan, dan kemerosotan moral.
Santri harus menjadi garda depan yang menebar nilai kejujuran di tengah kepalsuan, menyebar kasih di tengah kebencian, dan menjaga persatuan di tengah perpecahan.
Bangsa ini tidak kekurangan orang pintar — yang kurang adalah orang beradab.
Dan di sinilah peran santri menjadi tiang penyangga terakhir bagi moral bangsa.
Selama pesantren tetap hidup, selama santri tetap menuntut ilmu dengan niat tulus, negeri ini akan selalu memiliki harapan.
Dari Trimurjo hingga seluruh pelosok Nusantara, gema Hari Santri adalah panggilan jiwa:
Bahwa kemajuan tanpa akhlak hanya akan melahirkan kehancuran, dan akhlak tanpa ilmu hanya akan melahirkan ketertinggalan.
Santri adalah jembatan keduanya — penjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara kemajuan dan kemanusiaan.
“Selamat Hari Santri Nasional”
Dari pesantren untuk negeri, dari santri untuk peradaban.
Penulis : Dwi Hartoyo






