Kota Metro — Calon Wakil Walikota Metro, Qomaru Zaman dikabarkan ditetapkan sebagai tersangka karena diduga berkampanye menggunakan fasilitas negara, Praktisi hukum dari Lembaga Hukum Indonesia (LHI) pun bersuara. Senin, 14 Oktober 2024
Hal ini seperti disampaikan oleh Suhendar SH MM, Praktisi Hukum dari Lembaga Hukum Indonesia (LHI).
Kepada media ini Suhendar SH MM pun mempertanyakan sikap Penyidik Gakumdu yang terdiri dari Bawaslu, Jaksa dan Kepolisian dari Kota Metro dalam penanganan perkara ini.
Dalam kabar penetapan tersangka kepada Qomaru Zaman yang telah diduga telah berkampanye menggunakan Fasilitas negara, menurut kami ini perlu didalami lagi lebih lanjut.
“Apalagi ketika dikatakan Kampanye, Peraturan Komisi Pemilihan Umum memiliki kriteria yang sangat jelas tentang apa yang dimaksud dengan kampanye, dan unsur-unsur kampanye pun jelas dan harus dipenuhi agar sebuah tindakan dianggap melanggar”, ujar Suhendar.
Suhendar SH MM pun menerangkan terkait arti kampanye berdasarkan UU bukan asumsi dari berbagai pihak.
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, kampanye didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh pasangan calon, tim sukses, atau pihak lain yang bertujuan untuk mengajak atau mempengaruhi pemilih untuk memilih calon tertentu. Pasal 69 dari undang-undang tersebut merinci beberapa kegiatan yang dianggap sebagai kampanye, di antaranya menyampaikan visi, misi, program, atau ajakan untuk memilih calon tertentu.
Untuk bisa dikategorikan sebagai kampanye, harus ada elemen penting seperti ajakan langsung untuk memilih atau penyampaian visi dan misi secara terbuka.
“Bagaimana mengajak untuk memilih sementara pencalonan dan nomor urut belum ditetapkan. Jika video TikTok tersebut tidak mengandung unsur ini—hanya menampilkan kegiatan Qomaru sebagai Wakil Wali Kota dalam tugas resmi—maka tuduhan bahwa ia berkampanye tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum”, lanjut Suhendar.
Masih dikatakan oleh Suhendar SH MM tentang pentingnya Analisa forensik terkait video itu untuk menghindari manipulasi video.
Dalam konteks pembuktian, perlu menekankan pentingnya analisis forensik terhadap video yang viral di TikTok.
“Konten digital seperti video TikTok sangat rentan terhadap manipulasi atau penyuntingan yang dapat mengubah konteks asli dari peristiwa”, tambahnya.
“Oleh karena itu, penilaian terhadap video ini harus dilakukan dengan hati-hati dan disertai dengan bukti-bukti tambahan”, tegasnya.
Suhendar SH MM juga menyoroti bahwa video yang beredar di media sosial sering kali dipotong atau diedit lalu dimanipulasi untuk menciptakan narasi dan membangun persepsi tertentu yang belum tentu sesuai dengan kenyataan.
Dalam kasus Qomaru, video tersebut harus diverifikasi lebih lanjut untuk memastikan apakah benar mengandung unsur kampanye atau sekadar aktivitas pemerintahan yang dilaksanakan secara sah.
“Jika video tersebut hanya menampilkan Qomaru dalam acara penyaluran bansos tanpa simbol partai bahkan tanpa alat peraga seperti nomor pasangan dan foto resmi yang digunakan dalam kertas suara maka secara hukum, sulit untuk mengkategorikan itu sebagai kampanye. Kita juga harus mempertanyakan sumber video, siapa yang mengunggahnya, dan apakah ada manipulasi yang terjadi sebelum video tersebut viral”, paparnya.
Dalam hal ini, Suhendar SH MM juga menekankan pentingnya prosedur pembuktian yang sesuai dengan prinsip due process of law atau asas proses hukum yang adil.
“Pihak yang menuduh juga harus mampu menghadirkan bukti yang sah dan valid, bukan hanya mendasarkan pada konten viral yang belum diverifikasi”, terangnya.
Praktisi hukum yang telah malang melintang di seluruh wilayah Indonesia ini juga menyoroti bahwa penggunaan fasilitas negara untuk kampanye adalah salah satu hal yang dilarang oleh undang-undang, tetapi dalam kasus ini, bukti yang menunjukkan bahwa bansos disalahgunakan untuk kampanye politik harus mendasar dan didefinisikan pengertian kampanye secara hukum.
Jika bansos disalurkan sesuai dengan peraturan pemerintah dan tidak ada unsur politisasi, maka tuduhan penggunaan fasilitas negara untuk kampanye tidak berdasar.
“Bantuan sosial adalah program publik yang dijalankan secara rutin oleh pemerintah, terutama dalam situasi darurat atau dalam masa melemahnya daya beli masyarakat seperti sekarang ini”, jelasnya.
Suhendar SH MM juga menegaskan bahwa dalam konteks hukum, Qomaru Zaman berhak atas prinsip praduga tak bersalah. Artinya, ia harus diperlakukan sebagai pihak yang tidak bersalah hingga ada bukti yang kuat dan sahih untuk membuktikan sebaliknya.
“Prinsip hukum yang berlaku adalah praduga tak bersalah. Sampai saat ini, belum ada keputusan resmi dari Bawaslu atau KPU yang menyatakan bahwa Qomaru melakukan pelanggaran”, tuturnya.
“Tuduhan berdasarkan video viral di TikTok bukanlah bukti yang cukup untuk menuduh seseorang melakukan pelanggaran hukum”, tegasnya.
Dan di penghujung penyampaiannya Suhendar SH MM pun meminta kepada Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan yang tergabung dalam Gakkumdu Pemilu lebih berhati-hati dalam bersikap dan profesional dalam bertindak.
“Saya tidak ada kepentingan, cuma ketika saya menelaah perkara ini maka sebaiknya Penyidik Gakkumdu Pemilu perlu berhati-hati dalam bersikap dan bertindak dalam menentukan status calon yang tengah bertarung dalam Kontestasi Pilkada”, ujarnya.
Jangan sampai ini jadi preseden buruk dikemudian hari dan jangan sampai ada anggapan bahwa ini merupakan perkara titipan, mentersangkakan dulu si calon dengan tujuan tertentu.
“Saya yakin, penyidik Gakumdu, baik dari Bawaslu, Kepolisian dan kejaksaan profesional dan tidak ada kepentingan dalam mengambil sikap dalam penanganan perkara yang dilaporkan ini”, pungkas Suhendar, SH,. MM.
(APPI)